Ini Sumber Pajak yang Dikenakan bagi Klub Sepakbola, Tiket Kena Pajak Gak ?

ilustrasi pertandingan sepakbola

SEPAKBOLA merupakan olahraga yang paling populer dan paling digemari oleh masyarakat Indonesia. Olahraga ini tidak mengenal usia, harta, dan jabatan seseorang. Muda dan tua baik laki-laki maupun perempuan menyukai olahraga ini.

Dengan fanatisme fan sepak bola di Indonesia yang begitu tinggi, terkadang pertandingan besar yang mempertemukan klub yang memiliki sejarah rivalitas yang panjang kerap menyedot perhatian dan menjadi buah bibir masyarakat seminggu sebelum bahkan setelah pertandingan.

Terkadang fanatisme fan sepak bola ini tidak dibarengi dengan perilaku baik. Fanatisme yang berlebihan ini kerap berubah menjadi sikap fanatisme buta atau anarkis dalam menyikapi hasil pertandingan klub kesayangannya ketika klubnya kalah.

Terlepas dari sedikit kacaunya penyelenggaraan kompetisi sepak bola Indonesia ini dijalankan, seperti tidak jelasnya kepastian jadwal pertandingan, gaji pemain serta ofisial tidak dibayar, adanya mafia sepak bola, kita melihat ada suatu hal positif pada sistem sepak bola Indonesia.

Bacaan Lainnya

Sistemnya menuju modern yaitu mengarah kepada bisnis sepak bola Indonesia.

Tidak seperti dahulu ketika sepak bola masih dibiayai oleh dana APBD, klub sepak bola pada saat ini sudah mandiri dan tidak bergantung kepada APBD.

Tak heran jika belakangan ini ramai sekali fenomena kalangan tokoh di Indonesia mulai dari artis hingga anak presiden sekalipun terjun ke dalam dunia sepak bola dengan mengakuisisi sebuah klub.

Tentunya mereka terjun ke dalam dunia sepak bola bukan tanpa alasan. Mereka pasti melihat ada potensi bisnis yang menggiurkan di bidang sepak bola ini.

Berbicara bisnis tentunya berbicara tentang perputaran uang. Dalam sebuah ekosistem klub sepak bola, fan merupakan salah satu penopang finansial sebuah klub.

Semakin fanatik fan semakin laku penjualan barang dagangan klub dan tiket pertandingan. Fan yang fanatik akan mengorbankan waktu dan materinya demi klub kesayangannya.

Hal tersebut tentunya dimanfaatkan oleh klub sepak bola untuk menopang finansialnya agar bisa menggaji pemain.

Adapun pemasukan klub ini berasal dari sponsor, penjualan suvenir, hak siar, konten media sosial, dan penjualan tiket pertandingan.

Lantas, bagaimana kewajiban perpajakan atas pendapatan dan kegiatan operasional yang dijalankan sebuah klub sepak bola ?

Menurut pasal 4 ayat (1) Undang-undang Pajak Penghasilan, penghasilan adalah setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh wajib pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan wajib pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apa pun.

Oleh karena itu, yang dipajaki atas penghasilan klub sepak bola tersebut adalah laba usahanya dari kegiatan penjualan barang, penjualan tiket, konten media sosial, sponsor, dan hak siar.

Laba tersebut dikalikan dengan tarif ketentuan umum pasal 17 Undang-undang Pajak Penghasilan sebesar 22% dengan asumsi peredaran bruto sebuah klub di atas Rp50 miliar.

Dengan asumsi pendapatan sebuah klub Liga I sudah melebihi 4,8 miliar maka klub tersebut tidak menggunakan tarif berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2018 dengan menghitung dan membayarkan pajaknya setiap bulan sebesar 0,5% dari peredaran bruto sebulan.

Sebagai penulis, saya meyakini bahwa peredaran bruto suatu klub sepak bola Liga I di Indonesia ini sudah lebih dari Rp4,8 miliar. Artinya, klub sepak bola tersebut sudah berstatus sebagai PKP (Pengusaha Kena Pajak) dan wajib memungut Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 11% dari seluruh penjualan barang klub.

Namun, tidak semua penjualan barang yang dilakukan oleh klub merupakan objek PPN dan wajib dipungut PPN. Contohnya penjualan tiket pertandingan.

Berdasarkan Pasal 2 ayat (2) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 158/PMK.010/2015, tiket tontonan pertandingan olahraga termasuk kriteria jasa kesenian dan hiburan yang tidak dikenai PPN.

Kewajiban atas PPN sebuah klub sepak bola tersebut tentunya harus dilaporkan dalam SPT Masa PPN setiap bulan paling lambat akhir bulan berikutnya. Jika terlambat atau tidak lapor maka klub tersebut mendapatkan sanksi denda sebesar Rp 500 ribu per bulan.

Dalam mengarungi sebuah kompetisi, rata-rata klub sepak bola di Indonesia belum memiliki stadion sendiri untuk menyelenggarakan suatu pertandingan.

Oleh karena itu, klub tersebut biasanya menyewa stadion milik pemerintah daerah setempat.

Dalam kegiatan sewa menyewa stadion tersebut tentunya ada pajak yang harus dibayar yaitu Pajak Penghasilan Final pasal 4 ayat (2) sebesar 10% dari nilai sewa.

Pemerintah daerah setempat wajib memungut pajak dari klub tersebut dan menyetorkannya ke kas negara.

Dalam menjalankan kegiatan operasionalnya, klub berkewajiban untuk memberikan hak terhadap pemain dan ofisialnya yaitu berupa pemberian gaji.

Dalam pemberian gaji tersebut klub wajib memotong Pajak Penghasilan Pasal 21 atas gaji yang diterima.

Pemotongan pajak harus dilaporkan setiap bulan dalam bentuk penyampaian SPT Masa Pajak Penghasilan Pasal 21 paling lambat tanggal 20 bulan berikutnya dan tanggal 10 bulan berikutnya untuk pembayarannya ke kas negara.

Apabila hal tersebut tidak dipenuhi maka klub akan mendapatkan denda telat lapor atau tidak lapor sebesar Rp100 ribu per bulan dan 2% per bulan dari jumlah pajak terutang apabila klub tersebut telat bayar ataupun tidak bayar.(*)

sumber: pajak.go.id
penulis: Gesha Anggara Pratama, pegawai Direktorat Jenderal Pajak
Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.(*)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *