Harta setara 83 Gram Emas dan Tak Terpakai 1 Tahun, Barulah Dikenai Zakat Maal

ilustrasi zakat harta (kitabisa.com)

SOLUSINEWS.ID – Zakat harta atau zakat maal adalah jumlah harta tertentu yang wajib dikeluarkan oleh orang yang beragama Islam dan diberikan kepada golongan yang berhak menerimanya.

Zakat harta (maal) ada berbagai jenis antara lain, zakat emas, perak, logam mulia lainnya, uang atau surat berharga lainnya, zakat perniagaan, pertanian, peternakan, perikanan, pertambangan, dan zakat pendapatan (profesi).

Golongan yang berhak menerima zakat ini yaitu diantaranya orang fakir miskin menurut ketentuan yang telah ditetapkan oleh syariah.

Fakir  adalah seseorang yang tidak memiliki harta dan pekerjaan sehingga tidak mampu untuk memenuhi kebutuhan paling mendasar dalam hidupnya seperti kebutuhan pangan, sandang, dan papan. Fakir ini kerap diidentikkan dengan gelandangan atau pengemis.

Bacaan Lainnya

Sedangkan Miskin adalah seseorang yang memiliki harta dan pekerjaan namun belum dapat memenuhi kebutuhan pokok  hidupnya.

Lalu bagaimana perhitungan zakat bagi seseorang yang pemerolehan harta (zakat profesi) seseorang yang dapat beli mobil atau punya rumah ?

Bersumber dari lazismudiy.or.id dengan berita berjudul “Yunahar Ilyas: Bagaimana Menghitung Zakat Mal Kita?” yang terbit pada 17 Juni 2016, Yunahar Ilyas yang Ketua PP Muhammadiyah saat itu membahasnya dalam Kuliah Bakda Dzuhur di Masjid Kantor PP Muhammadiyah Yogyakarta.

Yunahar Ilyas mengatakan bahwa zakatnya benda-benda yang tidak bergerak, yang tidak konsumtif yang dipakai, dan jumlahnya atau harganya sampai satu nisab, maka dizakatkan satu kali saja selama dimiliki.

Misalnya rumah, tetapi sebagian fuqaha mengatakan, yang dipakai untuk keperluan sendiri tidak ada zakatnya.

“Rumah yang kita punya tidak ada zakatnya, mobil yang kita punya tidak ada zakatnya, komputer juga tidak ada zakatnya.

Tapi kalau punya rumah atau toko untuk kita sewakan kemudian menghasilkan keuntungan (produktif), itu dizakatkan sekali saja.

Rumah yang dikontrakkan, zakatnya sekali saja. Tetapi sewa rumah dan tokonya digabung dengan harta kita. Harta itu bisa dari gaji, bisa dari bagi hasil bank, termasuk dari penyewaan,” terang Yunahar.

Kapan Harta Bisa Dizakatkan?

Menurut Yunahar Ilyas, bahwa sudah cukup satu nizab atau setara dengan 83 gram emas dan sudah dimiliki satu tahun atau haul.

“Kenapa satu tahun?, itu tanda dia sudah tidak memerlukan dalam tahun itu. Dia sudah jadi orang kaya tahun itu. Kalau tidak, mesti dia belanjakan,” ujarnya.

Sekadar diketahui, nilai 1 gram emas saat ini (tahun 2021) telah mencapai sekitar Rp 900.000. Jika dikali dengan 83 gram maka total senilai Rp 74.400.000.

Selanjutnya, harta itu dimiliki secara tunai, dimiliki secara sempurna, atau dimiliki secara tidak sempurna apabila statusnya dipinjam orang.

“Kita punya uang seratus juta tapi dipinjam saudara. Nah, itu bukan kepemilikan sempurna. Tunggu kalau dia sudah kembalikan baru dibayar zakatnya. Dikeluarkan 2,5 % setiap tahun,” ujarnya.

Zakat Profesi

Untuk zakat profesi, Buya Yunahar menyampaikan zakat profesi tidak ada di zaman nabi. Soal zakat profesi adalah hasil ijtihad.

“Karena hasil ijtihad-ijtihad ulama terbelah dua, sebagaian mengatakan tidak ada zakat profesi. Nabi tidak lupa, Alquran tidak lupa, karena di zaman nabi sudah ada profesi.

Yang namanya profesi, pekerjaan jasa itu sudah ada, toh tidak ada aturan zakatnya. Jadi bagi ulama yang kelompok ini tidak ada yang namanya zakat profesi.

“Zakat yang ada, ya zakat mal. Zakat mal itu bisa dapat dari gaji, bisa dari jasa, bisa dari perdagangan.”, ujarnya.

Sebagaian yang lain mengadakannya, gaji itu zakat profesi. Bagi yang berpendapat ada, cara menghitungnya juga berbeda.

Ada yang untung kumulatif satu tahun, jadi berapa gajinya satu tahun dikeluarkan dua setengah persen. Jadi kalau misalkan gajinya satu tahun itu, satu bulan 2 juta, nah kalau satu tahun 44 juta.

“Kalau total gajinya setahun tidak mencapai nisab atau 83 gram emas, maka dia bebas dari zakat. Maka kalau gajinya berlebih atau pas nisab, maka dia mengeluarkan dua setengah persen per bulan. Itu menurut satu pendapat,” terangnya.

Lebih lanjut, Buya Yunahar menjelaskan pendapat lain yang mengatakan, bahwa yang dihitung itu saldonya.

“Jadi walaupun gajinya 5 juta sebulan, tapi habis setiap bulan. Satu tahun tidak ada saldonya, maka dia bebas dari zakat,” ungkapnya.

“Kalau orang bertanya kepada saya, saya jawab, kalau gajinya habis tidak ada zakatnya. Malah anda berhak menerima zakat. Orangnya mustahik (penerima zakat), bukan Muzakki (pemberi zakat).

Yunahar Ilyas tidak setuju tentang  berapapun gajinya maka dikeluarkan dua setengah persen setiap bulan.

“Zakat itu untuk orang yang sudah berlebih uangnya. Hitungnya dari saldo, apakah diterima tiap minggu, tiap bulan, pokoknya akumulatif satu tahun.

Jadi paling gampang itu, tentukan saja tanggalnya. Misalkan tanggal 15 Ramadan, jadi dia akan menghitung zakatnya setiap 15 Ramadan.

Nanti 15 Ramadan dia lihat saldonya, punya buku tabungan berapa buah? Kalau cuma satu, gampang melihatnya, punya deposito.

Pokoknya semua uang entah kapan masuknya, mungkin 10 bulan yang lalu atau 5 bulan yang lalu, mungkin baru saja masuk.

Pokoknya setiap 15 Ramadan lihat saldonya. Kalau saldonya cukup satu nisab (senilai 83 gram emas) maka wajib dikeluarkan 2,5 %. Kalau kurang dari nisab, tidak wajib,” tandasnya.

Buya Yunahar juga menyarankan bahwa kalaupun kita tidak wajib zakat, harta bisa diinfakkan, disedekahkan. “Kalau infak dan sedekah terserah diri kita masing-masing,” tutupnya.

Tentang (alm) Yunahar Ilyas

Nama lengkapnya, Prof. Dr. K. H. Yunahar Ilyas, Lc, M.Ag. Lahir di Bukittinggi, Sumatera Barat, 22 September 1956 dan wafat di Sleman, Yogyakarta, 2 Januari 2020 pada umur 63 tahun.

Ia adalah seorang pengajar dan ulama Indonesia dari Muhammadiyah. Pernah menjabat Wakil Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat, Ketua Majelis Tabligh dan Dakwah Khusus PP Muhammadiyah.

Ia menjabat sebagai salah satu Ketua Pengurus Pusat (PP) Muhammadiyah periode 2005-2010, 2010-2015, dan 2015-2020.

Sejak tahun 1987, ia bekerja sebagai Guru Besar di Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.(*)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *