Terus melangkah ke dalam, lorong gua kian menyempit. Saya dipandu Arif harus berjalan sambil menunduk. Sementara Pak Amir bersama Eki dan Imran telah berada di ruang gua lain.
Lantai gua yang saya pijak terasa lain di telapak kaki. Cukup nyaman dijejaki karena lantainya rata seperti lantai yang sudah disemen kasar.
Ada yang datar dan mendaki. Hampir semua permukaan lantainya tertutupi pasir karts yang telah mengeras dengan motif petak-petak sawah bertingkat.
Di ruang ini, udaranya lebih lembab. Aneka macam ornamen seperti stalaktit, stalatmit, dan pilar gua terlihat ‘tumbuh’ subur.
Beda dengan dekorasi Gua Liang Panning di depan, yang pertama kami lalui, sebagian dekorasi guanya bukan lagi ‘ornamen’ tapi telah menjadi ‘monumen’ karena telah kering membatu. Hihih.
Saya dan Arif tak melanjutkan penyusuran lebih jauh karena harus melalui rongga kecil yang bisa dilewati dengan merayap.
Namun, kata Arif, cukup merayap sekitar 2 meter maka bisa mendapati ruang gua yang lebih luas lagi.
Konon jika ditelusuri lebih jauh maka bisa tembus ke mulut gua yang ada di tebing kecil yang berada di tepi jalan desa.
Kegiatan caving (penelusuran gua) maupun diving memang bukan kegiatan jelajah alam bebas yang banyak diminati orang. Kegiatan ini merupakan minat khusus dalam wisata alam bebas.
Keindahan sebuah gua dapat kita rasakan saat menjejaki dan menemukan aneka macam dekorasi atau ornamen di dalamnya.
Dari hal itu kita bisa ‘mengendapkan’ hati dan menyelami diri agar kian bersyukur akan segala kehidupan dan ciptaan Allah SWT.
(bersambung; artikel Pesona Desa Wanua Waru berikutnya “Menemukan Ornamen Pilar ‘Bassang’ yang Unik”
Penulis: Ridwan Putra