Untuk melaluinya harus berjalan jongkok atau merangkak beberapa meter. Puluhan, entah ratusan kalelawar pun menyeruak beterbangan di hadapan kami saat melintasi lorong batu ini.
Lorong gua yang kami masuki ini berbeda dengan kondisi gua bersungai yang sebelumnya kami susuri.
Dinding dan langit guanya berbatu. Permukaannya kering. Di dindingnya terdapat cerukan panjang seolah menjadi jejak akibat kikisan arus permukaan sungai selama ribuan tahun.
Tak ada ornamen stalaktit dan stalakmit di lorong gua batu ini. Lantainya berpasir dengan bebatuan kerikil yang berserakan.
Di dalam kami menjumpai ruang lebih lapang. Berjarak sekitar 20 meter dari mulut lorong gua yang terpalang batang-batang pohon tadi.
Terdapat langit gua yang miring namun permukaannya rata, seolah habis dipapas atau dipotong gurinda raksasa.
Di ruangan lebih luas ini sekaligus menjadi titik pertemuan atau sambungan antara gua batu yang kering dengan gua berair.
Di sini terdapat sepasang terowongan batu lagi yang saling berdempetan. Luas diameter dua terowongan itu hanya beda tipis.
Hanya terowongan yang dialiri sungai yang rongganya tampak lebih besar. Sedangkan terowongan sebelahnya berdiameter lebih kecil, kira-kira 1,5 meter, tidak dialiri air.
Yang ini, lantainya lebih tinggi dengan endapan pasir berkerikil di permukaannya.
Panjang terowongan batu kembar ini, yang terlihat dari jarak kami berdiri, sekitar 30 meter. Di ujungnya terdapat belokan ke kanan.
Saat disenter, terlihat beberapa lubang dan ceruk kecil di dinding terowongan sebelah kiri.
Saat Eki memasuki dan menyorot senternya ke ujung terowongan, kawanan kalelawar kembali berhamburan keluar. (*) bersambung …
artikel travel story penelusuran gua di Pesona Desa Wanua Waru berikutnya “Taman Stalaktit Basah”
penulis: ridwan putra