Kisah Sukses H Ahmad Tonang setelah Usahanya Berkali-kali Bangkrut, dalam Buku “Saya Bukan Sampah”

Buku berjudul "Saya Bukan Sampah" yang mengisahkan perjalanan usaha dan kesuksesan Haji Ahmad Tonang, founder Daeng Group.

MAKASSAR, SOLUSINEWS.ID – Founder Daeng Group, Haji Ahmad Tonang, membentangkan kisah hidupnya dalam sebuah buku inspiratif.

Judulnya “Saya Bukan Sampah”. Buku ini akan segera terbit dari hasil tulisan salah satu tokoh literasi Sulsel, Bachtiar Adnan Kusuma (BAK).

BAK juga adalah Sekretaris Jenderal Asosiasi Penulis Profesional Indonesia Pusat,

Founder Daeng Group memulai usaha sejak di masa SMP Jongaya, Kecamatan Tamalate, Kota Makassar.

Bacaan Lainnya

Ia merintis usaha sembako dengan membuka dua toko di Pasar Daya dan Pasar Pa’baeng-baeng, boleh dibilang unik dan menarik.

Sebab di usia 14 tahun, Ahmad Tonang memutuskan memilih membuka usaha sendiri daripada bergantung pada kedua orangtuanya.

Orangtuanya saat itu sudah dikenal sebagai pedagang sembako di Pasar Pa’baeng-Baeng.

Di masa inilah, Ahmad berinteraksi langsung dengan bisnis sembako dan menyebabkan dirinya tak punya waktu banyak bermain seperti teman-temannya.

Ia lebih banyak memanfaatkan waktunya mencari uang daripada bermain.

Mula-mula Ahmad membuka usaha warung coto, namun berkali-kali mengalami bangkrut.

Bangkrut dari usaha coto, membuat Ahmad nyaris kehilangan motivasi lagi.

Dirinya malah sering disebut orang-orang sekelilingnya sebagai sampah.

“Semua orang menyebut saya sampah, kecuali ibu saya. Alasannya karena semua usaha yang saya lakoni gagal.

Mengalami kebangkrutan dan mereka memberi julukan saya adalah sampah,” kenang Ahmad kepada BAK, Rabu (19/8/2021), di Makassar.

Di usia 27 tahun, Ahmad mencoba hijrah ke berbagai daerah di antaranya Timor Leste, Atambua, Kalimantan, Jakarta, dan Surabaya.

Berkali-kali membuka usaha, Ahmad selalu gagal. Akhirnya ia pulang kampung ke Makassar.

Ahmad kembali membuka toko di Pasar Daya dengan bantuan modal ibunya. Dia juga kembali ke Pasar Pa’baeng-Baeng untuk menenangkan diri.

“Saya bersyukur karena selama masa menenangkan diri atas kebangkrutan yang saya alami, saya mendalami tarekat khalwatiah dan bergabung di Jamaah Tabliq,” terangnya.

Ahmad juga mulai membaca buku tentang kisah-kisah sejumlah tokoh sukses. Ahmad pun bersyukur karena dalam situasi yang serba sulit dan tidak menentu, ia kemudian menegaskan dirinya  “Saya Bukan Sampah,” ungkapnya.

Cerita Ahmad adalah sebuah penegasan cara mudah mencapai tujuan yang bermakna dengan memberdayakan diri secara maksimal” Change Limiting Beliefs”.

Caranya, di tengah kegagalan yang dialami akibat bangkrut dari usaha, Ahmad memilih membaca buku-buku inspiratif sekaligus belajar tarekat.

Sebab Ahmad memahami betul bahwa hukum kepercayaan menyebutkan bahwa apapun yang Anda percayai dengan sungguh-sungguh dan melibatkan emosi, akan menjadi kenyataan.

Ahmad yakin betul bahwa banyak orang sering merasa yakin dan kemudian membuat alasan mengapa ia belum sukses atau gagal.

Dengan melihat konteks kegagalan yang lebih utuh, bukan parsial, membuat dirinya yakin bisa bangkit dari keterpurukan.

Sekembali merantau dari Jakarta, Ahmad memeroleh ilmu yaitu ilmu tentang metro.

Artinya Kota Jakarta sebagai kota metropolitan tidak pernah berhenti beraktivitas selama 24 jam.

Disinilah Ahmad merintis Coto Maros Begadang 24 jam di Kota Makassar.

Pengagum teori Big Bang yang sejurus dengan pernyataan Albert Eisntein, menyebutkan masalah perubahan yang dihadapi bukanlah mengadopsi hal-hal baru melainkan sulitnya membuang kebiasaan-kebiasaan lama.

Karena itu, Ahmad kukuh bahwa manusia adalah makhluk dinamis yang senantiasa berubah.

Dan inilah yang dilakukan Ahmad Tonang melalui bendera usaha bernama Daeng Group sebuah gurita bisnis kuliner dengan memberdayakan orang-orang yang dipekerjakannya.

Jadilah dia, Ahmad Tonang, Mutiara dari Selatan.(sumber : katadia.co)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *